MAAF KARENA MELUPAKANMU
ersahabatan itu indah, tanpa sahabat
hidup ini terasa hampa, sepi, sendiri. Persahabatan bagai kepompong, mungkin
itulah salah satu lagu favoritku dengan sahabatku, Fhita. Setiap saat, aku
selalu bersama dengannya. Entah kenapa aku meerasa klop dengannya. Kita
bagaikan saudara kembar yang terpisah. Teman sekelas kami bilang, wajah kita
mirip. Hal yang kita sukaipun serupa, mulai dari warna, style rambut sampai
baju, idola, sampai komik favoritpun kita sama. Tapi, aku menyesal. Aku benar
benar sangat menyesal. Lebih dari sebuah penyesalan karena cinta. Bukan pula
karena aku menyesal berteman dengan Fitha. Sebaliknya, aku sangat beruntung
berteman dengannya. Lebih beruntung dari mendapatkan tanda tangan artis idola.
Tapi, sayang aku terlambat. Aku menyesal. Kenapa penyesalan datang terakhir.
Tapi ini semua terlanjur terjadi. Sehingga aku terlambat untuk meminta maaf
padamu, Fitha. Dan kini aku hanya bisa menatap sebuah batu nisan bertuliskan
namamu, ku ingat awal kejadian itu hingga semua menjadi begini
Saat
itu bel sekolah telah berbunyi jam pelajaran pertama dimulai. Bu Asih datang
dengan seorang gadis seusiaku dan Fitha. Ternyata dia murid baru di kelasku. Bu
Asih mulai memperkenalkan gadis itu. “Anak – anak hari ini ada murid baru di
kelas ini. Ayo perkenalkan dirimu”. Ucap Bu Asih. “Selamat pagi teman – teman,
perkenalkan nama saya Rosavina Melati, kalian bisa panggil saya Rosa. Salam
kenal”. Ucapnya memperkenalkan diri. “Rosa, sekarang kamu bisa duduk di bangku
yang kosong di belakang”. “Maaf bu, saya tidak biasa duduk di belakang, karena
mempersulit saya untuk bertanya”. Ucap Rosa kembali. “Ooh.. kalau begitu,
Fitha, sekarang kamu pindah ke belakang. Rosa, kamu boleh duduk di sebelah
Maya”. Perintah bu Asih. “Tapi, bu. Saya selalu duduk dengan Fitha, bu”.
Ucapku, tanda tak setuju dengan keputusan bu Asih. “Sudah, lakukan saja
perintah ibu, pelajaran akan segera di mulai”. “Sudahlah May.. istirahat nanti
kita bisa kumpul lagi,kan. Aku pindah dulu ya”. Ucap Fitha pasrah. Akupun hanya
dapat mengernyitkan dahi saat Rosa duduk di sebelahku.
“Iiih.. kenapa sih, aku harus duduk
bareng Rosa”. Batinku, seraya memperhatikan penampilan Rosa. “gayanya bak orang
terpandang, simple tapi anggun, sedangkan aku, biasa saja. Mungkin aku dan
Fitha bisa belajar dengannya tentang dunia fashion, siapa tahu dia mengerti
tentang dunia fashion. Dan mungkin dia bisa memperbaiki gayaku dan Fitha”.
Batinku kembali. Aku mulai mengobrol dengannya.
“Hai, aku Maya”
“Hai juga “
“Sepertinya, kamu orang terpandang ya?”
“Iya donk, lihat style-ku. Papaku kan
pejabat di Kota ini, papaku pindah tempat kerja, jadi aku juga harus pindah”
“Ooh.. gitu”
Lama-
lama berbicara dengan Rosa lumayan seru. Banyak pelajaran tentang dunia fashion
yang kudapat darinya, karena dia kebetulan mengerti fashion. Kurasa, aku mulai
akrab dengannya. Bel berbunyi tanda istirahat. Fitha datang menghampiriku, aku
yang tengah mengobrol asyik dengan Rosa sepertinya merasa terganggu. “May, ke
kantin yuk”. Ajak Fitha. “Tunggu deh Fith, aku lagi asyik ngobrol nih, kamu ke
kantin duluan aja”. Balasku tak menghiraukan Fitha. Lama berbicara dengan Rosa.
Aku jadi lupa dengan Fitha. Aku segera mencarinya. Akupun menemukannya sedang
duduk sendiri di meja kantin. Akupun menghampirinya.
“Hai Fith, sorry ya aku baru datang,
keasyikan ngobrol tentang fashion ama Rosa. Dia ternyata ahli lho tentang dunia
fashion, aku jadi pengen kaya’ dia”
“Owh. Iya, gak papa kok. Tentang fashion
ya, asyik tuh. Tapi ada yang lebih seru lho dari fashion”
“Apa?”
“Komik kesukaan kita edisi terbarunya
udah datang lho”
“He? Beneran?, asyik tuh… pengen!!!”
“Ya udah, nanti kita ke toko buku yuk!”
“Ya, pasti”
Bel
masuk berbunyi, rasanya aku semakin senang duduk dengan Rosa. Aku memulai
pembicaraanku lagi dengan Rosa. Ini semua rasanya seru, berbicara tentang
fashion.
“Nanti ke butik aku yuk, ada model baju
terbaru di sana lho”. Ajak Rosa.
“Butik?, mm…”. Aku kebingungan, mana
yang harus kupilih, butik atau komik. “Mungkin Fitha bisa mengerti, lagi pula
ini semua penting bagiku untuk cita-citaku”. Pikirku. “Oke deh, Ros, aku mau,
nanti sepulang sekolah kan?”. “Ya”.
Bel
sekolah berbunyi kembali, saatnya pulang sekolah. Aku mencari Fitha untuk
membatalkan janjiku dengannya. Akhirnya kutemukan juga dia, dia sedang berdiri
di depan gerbang sekolah, mungkin menungguku.
“Fitha!”.
Sapaku seraya melambaikan tangan.
“Maya”.
Balasnya lalu senyum manis muncul dari bibirnya.
“Maaf
ya, aku lama, tapi…”. Aku yang tengah berbicara langsung di potong oleh Fitha.
“Ya, gak
papa kok. Yuk cepet ke toko buku ntar keburu tutup”. Ajak Fitha sambil menarik
tanganku.
“Tapi,
maaf Fith, aku gak bisa, sekarang aku mau ke butiknya Rosa. Kamu tahukan, kalau
aku ingin menjadi seorang desainer, jadi aku harus tau banyak tentang ini. Kamu
bisa mengertikan?”.
“Owh begitu,
ya sudah gak papa, aku beli komik sendiri, besok aku pinjemin”.
“Oke”.
Esok
harinya aku datang lebih pagi, lagi lagi aku menolak Fitha untuk berangkat
sekolah bersama, karena aku akan berangkat sekolah dengan Rosa. Kuperhatikan
penampilanku “Sip!”. Mobil hitam datang menjemputku, itu Rosa. Akhirnya kami
berangkat bersama. Sesampainya di sekolah, akupun langsung membaca majalah
fashion dengan Rosa, sungguh menyenangkan. Lalu Fitha datang, dan mungkin
mengganggu suasanaku.
“May,
ini komiknya, seru lho”. Ucap Fitha.
“Owh,
ya”. Balasku.
“Eeh..
tunggu, kamu suka komik beginian May? Kalau aku sich, ogah banget”. Seru Rosa.
Aku berfikir sejenak, “Kalau aku bilang aku
suka komik itu, pasti Rosa menjauhiku. Lebih baik aku berbohong”. Batinku.
“nggak
kok Ros, aku gak suka yang beginian, Fitha aja maksa aku baca ini”. Ucapku
berbohong.
“Tapi
May, inikan komik favorit kita?”.
“Kita
apanya? Kamu aja kali’?”. Ucapku sedikit membentak, harusnya Fitha mengerti.
Fitha pergi meninggalkan aku, raut
wajahnya sedikit kesal.
“Ehh,
May, kamu kok mau sih, temenan sama dia?”. Tanya Rosa.
“Entahlah,
mungkin yang kita sukai hampir semuanya sama. Tapi, dia sahabatku dari kelas
satu SD”.
“Kok
mau sih, kalau aku pasti gak mau. Lihat gayanya, norak kan? Bandingin deh sama
kamu yang sekarang, lebih fashionable”.
Aku tak membalas perkataan Rosa, Fitha
sahabatku sejak kelas 1 SD, mana mungkin aku meninggalkannya.
Hari
hari berlalu, kini aku sering menghabiskan waktuku dengan Rosa. Aku selalu tak
menghiraukan Fitha. Kini aku juga sering pergi ke mall atau butik, dan juga
membaca majalah fashion dengan Rosa. Hariku terasa semakin berwarna, kini aku
tahu banyak tentang fashion, dan semoga cita-citaku untuk menjadi desainer
tercapai. Saat itu aku sedang membaca majalah di jam istirahat bersama Rosa.
Kemudian Fitha datang menghampiriku, rasanya aku lama tak mengobrol atau hanya
sekedar berbicara dengannya.
“May,
nanti temenin aku ke toko buku yuk!”. Ajak Fitha
“Tapi
nanti aku dan Rosa akan pergi ke butik untuk melihat model baru”.
“Tapi
kan kita udah lama gak ke toko buku”.
“Ya,
tapi kamu tahukan cita – citaku, harusnya kamu mengerti donk”.
“Tapi
May, aku pengen ke toko buku bareng kamu seperti dulu lagi”.
“Ahh
udah deh Fith, jangan paksa aku!”. Seruku sedikit membentak.
“Ayolah
May, sekali ini saja, ini yang terakhir aku ke toko buku, ayo May, ayo!”.
“Udahlah
Fith, kalau aku gak mau berarti aku gak mau, denger ya! Sekarang aku gak
seperti dulu lagi. Aku bukan anak-anak lagi, aku udah dewasa dan sekarang aku
gak suka komik lusuhmu itu!!”. Bentakku pada Fitha
“May,
kamu kok berubah sih? Aku kecewa sama kamu, inget gak sih, dulu kita selalu
bersama, jalan bareng, berangkat bareng, pulang bareng, sedih bareng, tapi
sekarang? Kamu malah deket ama dia tuh! Si Rosa yang sok fashionable!!!”.
Bantah Fitha sembari mengusap air matanya yang jatuh ke pipi.
“Apa kamu
bilang? Berani kamu sama aku? Ayo sini!!”. Rosa ikut adu mulut dengan Fitha.
“PYAAR!!”.
Sebuah tamparan dari Fitha melayang di pipi Rosa. Air asinnya terus mengalir
membasahi pipi lembutnya.
“Fith!!
Apa-apaan sih kamu itu?? Berani kamu nampar Rosa? Sekarang ayo tampar aku!
Tampar cepat!!”. Aku marah kepada Fitha.
Fitha
terdiam, sepertinya ia takut menamparku.
“Udah
deh, mending kamu pergi sana!! Kamu itu parasit tahu gak? Mengganggu hariku”.
Fitha
berlari ke koridor sekolah, matanya semakin sembab karena terlalu banyak
menangis, kurasa aku harus melupakannya, aku terlanjur malu pada Rosa.
Sebulan
berlalu, kini aku tak berhubungan lagi dengan Fitha. Akupun tak pernah
memperdulikannya, walau Fitha sesekali tersenyum kepadaku. Pernah kulihat
wajahnya semakin pucat tak terurus, namun semua itu tak kuhiraukan. Hingga
suatu hari, aku di ajak ke pesta ulang tahun Rosa. Aku harus tampak istimewa di
acara itu, ku rela membuka celengan hanya untuk membeli sebuah kado dan gaun
mewah, tapi uangku tak cukup untuk semua itu, akhirnyapun aku hanya memakai
gaun lamaku. Hari yang din anti tiba, aku pergi ke pesta ulang tahun Rosa, aku
selalu berusaha untuk tampil lebih anggun dan fashionable, tetapi sepatu yang
kupakai rasanya kurang nyaman, tetapi aku ingin tampil tetap istimewa di pesta
itu, karena tamu – tamu disana para pejabat. “Ros, selamat ulang tahun ya”.
Ucapku memberi selamat. “Makasih ya May, oh ya, ini kenalin sahabatku di
sekolahku yang lama, Linzy”. “Maya”. “Linzy”. Sepertinya raut wajah Linzy tak
suka kepadaku. Sesekali kulihat Linzy berbisik kepada Rosa. Raut wajahnya
seakan menggambarkan rasa tak suka.
“Ros, aku ambil minum dulu ya”. Ucapku. “Owh, oke deh”. Aku hendak meminum
segelas sirup yang kuambil, tetapi tiba-tiba Linzy datang dengan amarahnya.
“Heh! Ngapain lo cari muka di depan Rosa? Cewek norak kaya’ lo mending jauh
jauh deh dari sini!”. Bentaknya dengan bahasa yang menurutku kurang sopan. “Aku
hanya ingin berteman dengan Rosa kok”. “Aah.. udah!! Nih rasain karena lo udah
ngerebut sahabat gue”. Lalu Linzy menumpahkan segelas sirup ke rambutku,
penampilanku acak – acakan. Rosa menghampiriku, “Ros, Linzy nu…”. Belum selesai
aku berbicara Rosa memotong “Eh May! Kog kamu acak-acakan sih? Enggak banget
gitu, mending kamu jauh-jauh dari sini! Pergi sana! Dan jangan deketin aku
lagi, gaun lama juga masih di pake’, sorry ya May, kita gak selevel”. Perkataan
Rosa serasa mencabik cabik hatiku. Hatiku serasa di obrak abrik monyet gunung, hatiku
sakit, aku galau, tetapi bukan karena cinta, tapi kecewa pada seseorang yang
kupercaya untuk menjadi sahabatku. Padahal selama 8 tahun aku bersahabat dengan
Fitha, ia tak pernah mengusirku, aku menangis, tersedu. Aku telah melupakan
Fitha. “Apa –apaan kamu Maya!! Kamu bodoh!! Kenapa kamu bersikap begitu pada
sahabatmu sendiri?? Sahabat sejatimu, seperjuanganmu? Kenapa Maya? Kenapa?”.
Teriakku pada diriku sendiri yang merasa bersalah. “Besok aku harus ketemu
Fitha, aku harus minta maaf”. Tekadku.
Aku
datang pagi, aku sengaja tak menjemput Fitha, karena aku ingin bertemu langsung
dengan Fitha di sekolah. Aku mencari Fitha ke seluruh penjuru sekolah, namun
hingga bel masuk berbunyi aku tak menjumpainya. Aku masuk ke kelas, Rosapun
kini tak duduk bersebelah denganku. “Fith, kemana kamu?”. Esok harinya aku
mencarinya lagi, tetapi lagi-lagi aku tak menemukannya, aku coba telpon dia,
tetapi Hp-nya tidak aktif, aku coba datangi rumahnya, namun tak ada jawaban.
Fitha menghilang tanpa jejak,
Sebulan
berlalu, aku masih tak bertemu Fitha. Aku makin merindukannya, kini aku sendiri
tanpa dirinya, aku menyesal karena aku tak menghiraukannya. “AARGHH!! Kenapa
kamu Fith? Kamu di mana sih?”. Aku pulang ke rumah dengan wajah kusut belum di
setrika, lalu mama datang menghampiriku, sepertinya ada sesuatu yang ingin mama
sampaikan, dan kurasa itu penting. “May, kamu udah tau kalo Fitha meninggal?”.
Tanya mama. Aku mendadak terdiam, terkejut, tak percaya, rasanya kegalauanku
semakin bertambah parah, hatiku sakit lagi, lebih sakit dari perkataan Rosa
kepadaku, lebih sakit saat Linzy menumpahkan sirup ke rambutku, lebih dari di
acak monyet gunung, mungkin di acak- acak gorilla yang tengah mengamuk.
“A..a…aapa ma? Gak mungkin ma, gak mungkin, aku gak percaya ma, aku gak percaya!”.
Lirihku sembari meneteskan air asin. “kalau kamu gak percaya, hadiri saja
pemakamannya. Aku segera berlari mengambil sepeda, mengayuhnya sekuat tenagaku,
di pemakaman aku lihat segerombol orang berbaju duka, aku segera berlari menuju
pemakaman itu, berdesakan di antara orang- orang yang datang untuk pemakaman
Fitha. Air mataku semakin mengalir deras, tak terbendung lagi. Saat semua orang
sudah pergi, aku masih tetap berada di dekat kuburan Fitha. Tertera namanya di
batu nisan, “Luna Fithri Laudya”, seseorang yang kurindukan kini berada di
dalam tanah, hanya sebuah batu nisan dengan namanya yang dapat ku lihat
tentangnya. Tiba tiba, ibu Fitha menghampiriku dan memberi sepucuk surat dari
Fitha. Aku membukanya perlahan, tanganku bergetar membaca surat itu, membacanya
membuat hatiku, jantungku, ragaku, semakin sakit.
May,
Sebelumnya maaf gak ngasih tahu kamu tentang ini, tetapi kamu jangan sedih,
kalau kamu masih ingat aku, ingat kenangan kita, aku sudah buatkan album berisi
foto kenangan kita, jangan sedih ya. Sebenarnya, 2 bulan lalu, aku diagnosis
terkena penyakit kanker otak, entahlah namanya apa, bahasanya terlalu sulit
untuk kulafalkan, tak semudah aku melafalkan namamu. Aku gak marah ke kamu kok,
aku tetap setia sama kamu, walau kamu benci aku sebenci- bencinya, aku tetap
saying kamu, walau kamu gak bisa temenin aku ke toko buku di hari terakhirku,
aku gak marah, karena kita sahabat sejati, sebulan aku bolak balik rumah sakit,
sebulan aku di rumah sakit, rasanya 2 bulan tak bertemu denganmu membuatku
rindu padamu. Tapi apa daya, ini sudah takdirku, di hari – hari terakhirku aku
menulis surat ini buat kamu, semoga kamu ingat aku terus ya.. persahabatan kita
jangan pernah kamu lupakan. Yang terakhir, semoga kamu nemuin sahabat yang
lebih baik dari aku, dan mengerti juga menerima kamu apa adanya. AKU KAMU KITA
BERDUA SEHATI SELAMANYA FOR MY BEST FRIEND. Jangan lupa ikrar kita ya…..
selamat tinggal Maya…
Tertanda,
Fitha.
Dan
kini, hatiku tertegun, di hari ini, akhir dari semuanya, mengingat awal kejadian
itu membuatku gila. Hatiku menangis membaca surat dari Fitha, air mata ini tak
berhenti keluar. Kurasa aku orang paling bodoh di dunia karena menyianyiakan
seorang sahabat yang selalu bersamaku. Maaf Fith, di hari terakhirmu aku tak
berada di dekatmu, tak berada di sampingmu, tak menemanimu. Aku menyesal pada
diriku sendiri. Menyesal karena karena melupakanmu, aku benar – benar menyesal,
sekali lagi aku bilang aku menyesal, andai aku terus bersamamu, menemanimu,
disaat gundahmu. Maaf Fitha, karena aku melupakanmu, maaf, sekali lagi maaf
karena melupakanmu.